Kejujuran yang Telah Hilang Pada Puisi Ketika Burung Merpati Sore Melayang

Burung Merpati Di Alam Di Sore Hari Foto Stok - Unduh Gambar Sekarang -  Abu-abu, Alam, Anggota tubuh hewan - iStock 

Ketika Burung Merpati Sore Melayang

Karya: Taufiq Ismail

 

Langit akhlak telah roboh di atas negeri

Karena akhlak roboh, hukum tak tegak berdiri

Karena hukum tak tegak, semua jadi begini

Negeriku sesak adegan tipu-menipu

Bergerak ke kiri, dengan maling kebentur aku

Bergerak ke kanan, dengan perampok ketabrak aku

Bergerak ke belakang, dengan pencopet kesandung aku

Bergerak ke depan, dengan penipu ketanggor aku

Bergerak ke atas, di kaki pemeras tergilas aku

 

Kapal laut bertenggelaman, kapal udara berjatuhan

Gempa bumi, banjir, tanah longsor dan orang kelaparan

Kemarau panjang, kebakaran hutan berbulan-bulan

Jutaan hektar jadi jerebu abu-abu berkepulan

Bumiku demam berat, menggigilkan air lautan

 

Beribu pencari nafkah dengan kapal dipulangkan

Penyakit kelamin meruyak tak tersembuhkan

Penyakit nyamuk membunuh bagai ejekan

Berjuta belalang menyerang lahan pertanian

Bumiku demam berat, menggigilkan air lautan

 

Lalu berceceran darah, berkepulan asap dan berkobaran api

Empat syuhada melesat ke langit dari bumi Trisakti

Gemuruh langkah, simaklah, di seluruh negeri

Beribu bangunan roboh, dijarah dalam huru-hara ini

Dengar jeritan beratus orang berlarian dikunyah api

Mereka hangus-arang, siapa dapat mengenal lagi

Bumiku sakit berat, dengarlah angin menangis sendiri

 

Kukenangkan tahun ‘47 lama aku jalan di Ambarawa dan Salatiga

Balik kujalani Clash I di Jawa, Clash II di Bukittinggi

Kuingat-ingat pemboman Sekutu dan Belanda seantero negeri

Seluruh korban empat tahun revolusi

Dengan Mei ‘98 jauh beda, jauh kalah ngeri

Aku termangu mengenang ini

Bumiku sakit berat, dengarlah angin menangis sendiri

 

Ada burung merpati sore melayang

Adakah desingnya kau dengar sekarang

Ke daun telingaku, jari Tuhan memberi jentikan

Ke ulu hatiku, ngilu tertikam cobaan

Di aorta jantungku, musibah bersimbah darah

Di cabang tangkai paru-paruku, kutuk mencekik nafasku

Tapi apakah sah sudah, ini murkaMu?

 

Ada burung merpati sore melayang

Adakah desingnya kau dengar sekarang

 

1998

 

Puisi yang berjudul, ”Ketika Burung Merpati Sore Melayang” karya Taufiq Ismail ini bila dilihat dari isi yang disampaikan penyair, terdapat kritik mengenai kejujuran yang telah hilang di negara kita. Puisi ini bercerita ketika aku melihat negaraku yang telah penuh dengan kebohongan dan penipuan. Pada saat itu, akhlak manusia juga telah menurun yang mengakibatkan kehancuran suatu negara. Aku berusaha bergerak untuk merubah segalanya tetapi setiap bergerak ke kiri, dengan maling kebentur, bergerak ke kanan, dengan perampok ketabrak, bergerak ke belakang, dengan pencopet kesandung, bergerak ke depan, dengan penipu ketanggor, kebingungan inilah yang membuat aku tidak bisa apa-apa karena akhlak manusia telah hilang.

Tema puisi ‘Ketika Burung Merpati Sore Melayang’   ini diangkat karena memberikan gambaran tentang bangsa yang tidak diberikan hak sama seperti orang-orang yang lainnya dan terdapat akhlak manusia yang terus menurun serta hukum yang ada di negerinya tidak lagi berjalan sesuai dengan fungsinya, sehingga banyak orang yang tidak dapat bertahan hidup karena tidak mendapatkan hak yang sama ketika terjadi musibah dan kejahatan di Indonesia, tema dalam puisi ini adalah keadilan sosial.

Pada puisi Taufik Ismail yang berjudul “Ketika Burung merpati Sore Melayang“ menggunakan tipografikonvensional. Dalam puisi ini penyair menata puisinya seperta puisi jaman dahulu yaitu 1 bait yang terdiri dari beberapa baris, ini kemungkinan besar dimaksudkan oleh penyair untuk lebih menekankan pada makna dan pembaca agar lebih mengerti makna yang disampaikan pada puisi tersebut.

Rasa/Feeling pada puisi di atas mengungkapkan tentang kejahatan dan musibah yang dialami bangsa Indonesia. Kejahatan dan musibah ini terjadi karena penguasa tidak menjalankan kekuasaan hukum dengan benar. Melalui puisi ini pengarang ingin menyampaikan bahwa akibat hukum tidak dijalankan dengan benar menyebabkan bencana kemanusiaan. Bencana kemanusiaan ini timbul akibat penguasa menjalankan hukum secara diskriminatif. Penguasa tidak sungguh-sungguh menjalankan hukum. Hukum berlaku bagi masyarakat kecil. Para pejabat yang berkuasa seolah-olah kebal terhadap hukum. Puisi ini banyak mengungkapkan tentang bencana kemanusiaan tetapi inti yang disampaikan adalah menuntut keadilan.

Puisi yang berjudul, ”Ketika Burung Merpati Sore Melayang” terdiri atas kata ‘ketika’ yang menyatakan waktu dan ’Burung Merpati’ yang merupakan sejenis unggas yang indah dan jinak. Selain itu, beberapa kata dalam puisi ini tidak dapat dimaknai secara harfiah, misalnya ’Sore’ adalah waktu hampir senja dan ‘Melayang’ adalah terbang yang bisa dimaknai hilang nyawa. Judul ini bisa diartikan dengan ketika mahasiswa tewas dalam suatu insiden. 

Diksi pada puisi ini dapat kita temukan di beberapa larik. Dengan menggunakan kata-kata yang terseleksi dengan apik, Taufiq ingin menyampaikan perasaannya melalui puisi ini mengenai Indonesia yang dianggapnya sakit karena penuh dengan pelanggaran terhadap hukum, bencana, tragedi kemanusiaan, dan penyakit. Dengan menggunakan kata-kata yang diseleksi luar biasa, Taufiq mampu menampilkan kesan tentang situasi yang terjadi di negara ini. Hal ini dapat diamati pada bait berikut ini:

Langit akhlak telah roboh di atas negeri 

Karena akhlak roboh, hukum tak tegak berdiri 

Karena hukum tak tegak, semua jadi begini

Langit adalah tempat yang tertinggi, sedangkan pemimpin adalah orang memiliki kedudukan tertinggi dalam suatu wadah. Jadi, langit dapat dimaknai sebagai lambang pemimpin. Akhlak adalah budi pekerti dan roboh artinya hancur. Jadi, bait tersebut mengandung arti kehancuran akhlak para pejabat yang mengakibatkan hukum tidak diberlakukan sebagaimana mestinya.

Akibat hukum tidak diberlakukan sebagaimana mestinya pelanggaran hukum akhirnya terjadi dimana-mana. Hal ini tampak pada lirik seperti yang sampaikan pengarang dalam lirik berikut ini:

Negeriku sesak adegan tipu-menipu 

Bergerak ke kiri, dengan maling kebentur aku 

Bergerak ke kanan, dengan perampok ketabrak aku 

Bergerak ke belakang, dengan pencopet kesandung aku 

Bergerak ke depan, dengan penipu ketanggor aku 

Bergerak ke atas, di kaki pemeras tergilas aku

Diksi tipu-menipu, kebentur, ketabrak, kesandung, ketanggor, dan tergilas dalam bait di atas menunjukkan bahwa sang aku selalu bertemu dengan orang-orang jahat. Hal ini menggambarkan bahwa kejahatan merajalela di mana-mana.

Majas yang digunakan oleh Taufiq dalam puisi “Ketika Burung Merpati Sore Melayang” pada umumnya didominasi majas personifikasi dan metafora. Majas ini dapat dilihat dari pernyataan Taufiq Ismail tentang kondisi negara ini dengan teks “Bumiku demam berat, menggigilkan air lautan” pada akhir bait 2 dan 3. Majas ini juga terlihat pada lirik yang berbunyi “Bumiku sakit berat, dengarlah angin menangis sendiri” yang terdapat pada lirik akhir bait 4 dan 5. “Bumiku demam berat” dan “Bumiku sakit berat” membandingkan bumi seperti manusia yang sedang menderita sakit parah. Sakit parah itu menyebabkan manusia tidak dapat berbuat apa-apa, dapat dimaknai negara atau bangsa yang sudah tidak mamatuhi hukum atau aturan yang berlaku menyebabkan malapetaka menimpa bangsa Indonesia. Perubahan ungkapan dari “Bumiku demam berat“ menjadi “Bumiku sakit berat” adalah perubahan suasana yang digunakan penyair untuk menggambarkan situasi negeri yang makin sakit. Penggunaan majas tersebut membuktikan kepiwaian Taufiq dalam mengelola situasi yang ingin dia gambarkan.

Larik “langit akhlak telah roboh di atas negeri” merupakan metafora implisit yang berarti akhlak pemimpin sudah tidak ada lagi ketika menjalankan roda pemerintahan. Karena akhlak sudah tidak ada, hukum pun sudah tidak digunakan lagi untuk menegakkan kebenaran dan keadilan. Para pejabat yang berwenang menjalankan hukum tidak lagi bekerja menjalankan hukum, melainkan melakukan pembiaran bahkan melanggar hukum. Akibat pembiaran dan pelanggaran hukum, kejahatan terjadi di mana-mana. Penjahat menjadi orang yang berkuasa. 

Pada larik “Karena akhlak roboh, hukum tak tegak berdiri” juga merupakan majas metafora implisit. “Hukum tak tegak berdiri” membandingkan hukum seperti manusia tua yang sudah tidak dapat berdiri dengan kokoh sehingga sulit untuk beraktivitas. Majas ini dapat dimaknai bahwa hukum sudah tidak berlaku lagi, tidak digunakan sesuai dengan fungsinya.

Amanat yang terkandung dalam puisi ini, penulis menggambarkan agar kita manusia harus saling toleransi kepada sesama dan memberikan haknya masing-masing agar tidak terjadi banyak bencana dan kejahatan dimana-mana. Karena ketika hal tersebut terjadi, bukan saja orang yang tak mendapatkan haknya yang tertimpa musibah itu tetapi orang yang mengambil haknya orang lain pula dapat tertimpa musibah dan benacana tersebut. Agar bumi menjadi aman dan tentram hendaknya orang-orang yang mendudukinya juga harus saling akur dan harmonis satu sama lain.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Membangun Ketegangan dalam Novel Anda: Tip dan Trik Agar Pembaca Tetap Terpikat

Suntikan Nasionalisme Dalam Novel Laut Bercerita Karya Leila S. Chudori

Pengaruh Budaya dan Latar Belakang pada Karya Sastrawan