Pendekatan Kajian Sastra yang Dikemukakan Oleh Abrams

 


Abrams dalam buku The Mirror and The Lamp: Romantic Theory and the Critical Tradition. (1976) membagi pendekatan terhadap teks sastra menjadi 4, yakni pendekatan mimetik, ekspresif, objektif, dan pragmatik. Pendekatan mimetik berupaya menjelaskan hubungan antara karya sastra dengan kenyataan. Pendekatan ekspresif berupaya menjelaskan hubungan antara karya sastra dengan pengarang. Pendekatan objektif berupaya menjelaskan hubungan antara karya sastra dengan unsur-unsur pembangunnya, dan pendekatan pragmatik menjelaskan hubungan antara karya sastra dengan pembacanya. Keempat pendekatan ini memiliki asumsi masing-masing yang berbeda dan saling melengkapi satu sama lain. 

Bagi pendekatan mimetik, karya sastra ialah tidak bisa dilepaskan dengan kenyataan. Ia adalah cerminan dari kenyataan. Sementara bagi pendekatan ekspresif karya sastra merupakan karya kreatif dari seorang pengarang. Kemudian pendekatan objektif berasumsi bahwa karya sastra merupakan karya otonom yang tersistem. Dengan demikian, pemaknaan dan segala hal mengenai karya sastra dapat diketahui dengan cara menjelaskan unsur-unsur pembangunnya dan hubungan antar unsur tersebut. Terakhir, pendekatan pragmatik berasumsi bahwa pembacalah yang paling penting sebab ia merupakan pihak yang memaknai dan mengkonkretkan makna. Tanpa pembaca, karya sastra hanyalah artefak yang tak berarti. Keempat pendekatan tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut : 

 

1. Pendekatan Ekspresif  

Menurut Abrams (Faruk, 2012: 39-40) pendekatan ekspresif ini menempatkan karya sastra sebagai curahan, ucapan, proyeksi pikiran, dan perasaan pengarang. Pengarang sendiri menjadi pokok yang melahirkan produksi persepsi-persepsi, pikiran-pikiran, dan perasaan-perasaan yang dikombinasikan. Praktik analisis dengan pendekatan ini mengarah pada penelusuran kesejatian visi pribadi pengarang yang dalam paham struktur genetik disebut pandangan dunia. Seringkali pendekatan ini mencari fakta-fakta tentang watak khusus dan pengalaman-pengalaman sastrawan yang secara sadar atau tidak telah membukakan dirinya dalam karyanya tersebut. Dengan demikian secara konseptual dan metodologis dapat diketahui bahwa pendekatan ekspresif menempatkan karya sastra sebagai: (1) wujud ekspresi pengarang, (2) produk imajinasi pengarang yang bekerja dengan persepsipersepsi, pikiran-pikiran dan perasaan-perasaannya, (3) produk pandangan dunia pengarang.  

Secara metodis, langkah kerja yang dapat dilakukan melalui pendekatan ini adalah:  

1.       Memerikan sejumalah pikiran, persepsi, dan perasaan pengarang yang hadir secara langsung atau tidak di dalam karyanya,  

2.       Memetakan sejumlah pikiran, persepsi, dan perasaan pengarang yang ditemukan dalam karyanya ke dalam beberapa kategori faktual teks berupa watak, pengalaman, dan ideologi pengarang 

3.       Merujukkan data yang diperoleh pada tahap 1 dan 2 ke dalam fakat-fakta khusus menyangkut watak, pengalaman hidup, dan ideologi pengarang secara faktual luar teks (data sekunder berupa data biografis),  

4.       Membicarakan secara menyeluruh, sesuai tujuan, pandangan dunia pengarang dalam konteks individual maupun sosial dengan mempertimbangkan hubungan-hubungan teks karya sastra hasil ciptaannya dengan data biografisnya.  

Pendekatan ekspresif dapat dibagi dalam tiga pembahasan, yaitu: kritik biografi, kritik psikoanalitik, dan fenomenologi.  

a.       Kritik biografi: Pendekatan biografi menganggap bahwa setiap karya sastra selalu dipengaruhi oleh latar belakang penulis. Baik dalam bentuk diksi, jalan cerita ataupun konteks dalam karya sastra itu sendiri. Biografi atau latar belakang penulis secara tidak langsung mempengaruhi pada karya sastra yang ditulisnya.  

b.      Pendekatan Psikoanalitik: Psikoanalitik merupakan sebuah kritik sastra yang kadangkadang berkaitan dengan penulis, terutama mencoba untuk menjelaskan aspekaspek psikologis umum dalam teks yang tidak selalu berhubungan dengan penulis secara eksklusif.  

c.       Fenomenologi: Pendekatan ini berasumsi bahwa penulis hadir dalam teks dalam bentuk disandikan dan jiwanya dapat dihidupkan kembali oleh membaca intensif karya lengkapnya. Pendekatan ini beranggapan bahwa dari sebuah karya sastra dapat di ketahui karakteristik penulisnya.  

Pendekatan ekspresif ini memiliki kelemahan, yaitu cenderung menyamakan secara langsung realitas yang ada dalam karya sastra dengan realitas yang dialami sastrawan atau pengarang. 

 

2. Pendekatan Mimetik  

Pendekatan mimesis ini berangkat dari pemikiran filsuf besar Yunan, yaitu Plato dan Aristoteles. Menurut Plato, segala yang ada di dunia ini sebenarnya hanya merupakan tiruan dari kenyataan tertinggi yang berada di dunia gagasan. Dalam dunia gagasan itu ada manusia, dan semua manusia yang ada di dunia ini adalah tiruan dari manusia yang berada di dunia tersebut. Meja, pohon, anjing, dan bunga yang ada di dunia ini sebenarnya hanyalah tiruan dari meja, pohon, anjing, dan bunga yang berada di dunia gagasan. Oleh karenanya, sajak yang dihasilkan seorang penyair --Plato menggunakan kata penyair untuk sastrawan karena pada zamannya itu semua bentuk sastra ditulis dalam karya sastra puisi- merupakan tiruan dari barang tiruan. Dengan kata lain Plato mengatakan bahwa puisi membawa manusia semakin jauh dari kenyataan tertinggi. Secara tersirat dikatakannya bahwa sebenarnya pohon lebih dekat dengan kenyataan tertinggi dibanding dengan sajak tentang pohon. Nilai sajak itu pun tentunya lebih rendah dibandingkan dengan pohon, sebab justru semakin menjauhkan manusia dari kenyataan tertinggi (Damono, 1984: 14-

15).  

Teori mimesis menurut Plato di atas ditolak salah satu muridnya, Aristoteles. Menurut Aristoteles, seni justru mengangkat jiwa manusia, yaitu melalui proses penyucian (katharsis), sebab karya seni membebaskan manusia dari nafsu yang rendah. Dalam memahami kanyataan, seni didominasi oleh penafsiran. Karena itu seniman tidak sematamata meniru kenyataan, tetapi menciptakan dunianya sendiri (Ratna, 2011: 5). Jika pandangan Plato lebih bersifat praktis, maka Aristoteles mengedepankan proses kreativitas seniman dalam menciptakan karya sastra. Karya sastra merupakan hasil dari kreativitas untuk menciptakan kemungkinankemungkinan baru tentang manusia dan perbuatannya. Teori Arisoteles tersebut kemudian disebut teori Fiksionalitas. 

 Pemikiran Plato di atas didasarkan pada kegunaan praktis dalam kerangka pemikirannya tentang negara Republik yang dicita-citakan. Meskipun kemudian pemikiran tersebut dirobohkan oleh muridnya, Aristoteles, tetapi pemikiran Plato sebenarnya mengandung sebuah proposisi bahwa sastra merupakan cermin masyarakat. Teori ini, yang kemudian disebut mimetik, bersama-sama dengan pemikiran Aristoteles (fiksionalitas), memiliki pengaruh kuat di Eropa, khususnya pada abad ke-17 dan 18. Dasar pertimbangan pendekatan mimesis adalah dunia pengalaman, yaitu karya sastra itu sendiri yang tidak bisa mewakili kenyataan yang sesungguhnya melainkan hanya sebagai peniruan kenyataan. Luxemberg mengemukakan, kenyataan di sini dipakai dalam arti yang seluas-luasnya, yaitu segala sesuatu yang berada di luar karya sastra dan yang diacu oleh karya sastra, seperti misalnya benda-benda yang dapat dilihat dan diraba, bentukbentuk kemasyarakatan, perasaan, pikiran, dan sebagainya (Faruk, 2012: 40). Melalui pandangan ini, secara hierarkis karya seni berada di bawah kenyataan. Akan tetapi Marxis dan sosiologi sastra memandang karya seni dianggap sebagai dokumen sosial; karya seni sebagai refleksi dan kenyataan di dalamnya sebagai sesuatu yang sudah ditafsirkan.  

Melalui penjabaran di atas, dapat diketahui secara konseptual dan metodologis bahwa pendekatan mimesis menempatkan karya sastra sebagai:  

a.       Produk peniruan kenyataan yang diwujudkan secara dinamis, 

b.       Representasi kenyataan semesta secara fiksional,  

c.       Produk dinamis yang kenyataan di dalamnya tidak dapat dihadirkan dalam cakupan yang ideal,  

d.       Produk imajinasi yang utama dengan kesadaran tertinggi atas kenyataan (hudayat, 2007: 42). 

Secara metodis, langkah kerja analisis melalui pendekatan ini dapat disusun ke dalam langkah pokok, yaitu:  

a.       Mengungkap dan mendeskripsikan data yang mengarah pada kenyataan yang ditemukan secara tekstual,  

b.       Menghimpun data pokok atau spesifik sebagai variabel untuk dirujukkan ke dalam pembahasan berdasarkan kategori tertentu, sesuai tujuan, misalnya menelusuri unsur fiksionalitas sebagai refleksi kenyataan secara dinamis, dsb., 

c.       Membicarakan hubungan spesifikasi kenyataan dalam teks karya sastra dengan kenyataan fakta realita, dan (4) menelusuri kesadaran tertinggi yang terkandung dalam teks karya sastra yang berhubungan dengan kenyataan yang direpresentasikan dalam karya sastra (hudayat, 2007: 42).  

Pendekatan mimetik memiliki kelemahan, yaitu sering dilakukan pembandingan langsung antara realitas faktual (riil) sehingga hakikat karya sastra yang fiktif imajiner sering dilupakan. 

 

3. Pendekatan Pragmatik  

Sebagaimana pendekatan mimesis, pendekatan pragmatik telah ada semenjak tahun 14 sebelum Masehi. Dalam bukunya berjudul Ars Poetica, Horatius telah meletakkan dasar-dasar pendekatan pragmatik. Melalaui semboyannya yang terkenal, dulcet et utile, Horatius mengemukakan bahwa karya sastra itu menghibur dan mendidik. Meskipun demikian, menurut Ratna, secara teoritis baru dimulai dengan lahirnya strukturalisme dinamik dengan tokohnya Mukarovsky (Ratna, 2011: 71).  

Pendekatan pragmatis menurut Abram memberikan perhatian utama terhadap peranan pembaca. Pendekatan ini memberikan perhatian pada pergeseran dan fungsifungsi baru pembaca. Pendekatan pragmatis mempertimbangkan implikasi pembaca melalui berbagai kompetensinya. Dengan mempertimbangkan indikator karya sastra dan pembaca, maka masalah-masalah yang dapat dipecahkan melalui pendekatan pragmatis di antaranya berbagai tanggapan masyarakat atau peneriman pembaca tertentu terhadap sebuah karya sastra, baik dalam kerangka sinkronis maupun diakronis (Hudayat, 2007: 43). Pendekatan pragmatik mempertimbangkan implikasi pembaca melalui berbagai kompetensinya. Dengan mempertimbangkan indikator karya sastra dan pembaca, maka masalah-masalah yang dapat dipecahkan melalaui pendekatan pragmatik, di antaranya berbagai tanggapan masyarakat tertentu terhadap karya sastra, baik sebagai pembaca eksplisit maupun implicit (Ratna, 2011: 72).  

Segers, berkaitan dengan pendekatan pragmatik, mengawali pembicaraannya dengan uraian seputar estetika resepsi. Menurutnya, secara metodologis estetika resepsi berusaha memulai arah baru dalam studi sastra karena berpandangan bahwa sebuah teks sastra seharusnya dipelajari (terutama) dalam kaitannya dengan reaksi pembaca. Dalam uraiannya, Segers memetakan estetika resepsi ke dalam tiga bagian utama, yaitu : 

a.     Konsep umum estetika resepsi,  

b.     Penerapan praktis estetika resepsi,  

c.     Kedudukan estetika resepsi dalam tradisi studi sastra (Hudayat, 2007: 43). 

Teori Estetika Resepsi termasuk ke dalam wilayah pendekatan pragmatik. Teori ini memuat konsep-konsep dasar seperti yang dikemukanan Jauss dan Iser. Kata kunci dari konsep yang diperkenalkan Jauss adalah rezeptions und wirkungsasthetik ―anggapan dan efek‖. Menurutnya, pembacalah yang menilai, menikmati, menafsirkan, dan memahami karya sastra. Pembaca dalam kondisi demikianlah yang mampu menentukan nasib dan peranannya dari segi sejarah sastra dan estetika. Resepsi sebuah karya dengan pemahaman dan penilaiannya tidak dapat diteliti lepas dari rangka sejarahnya seperti yang terwujud dalam horison harapan pembaca masing-masing. Baru dalam kaitannya dengan pembaca, karya sastra mendapat makna dan fungsinya. Tujuh bagian penting yang menjadi dasar dari teori estetika resepsi Jauss, yaitu:  

a.     Pengalaman pembaca, 

b.     Horison harapan,  

c.     Nilai estetik,  

d.     Semangat zaman,  

e.     Rangkaian sastra,  

f.      Perspektif sinkronik dan diakronik,  

g.     Sejarah umum (Hudayat, 2007: 44).  

Pendekatan pragmatik memiliki kelemahan, yaitu cenderung menilai karya sastra menurut keberhasilannya dalam mencapai tujuan tertentu kepada pembaca. 

 

4. Pendekatan Obyektif  

Pendekatan obyektif merupakan pendekatan terpenting karena berkaitan dengan munculnya teori-teori sastra modern. Teori-teori strukturalisme memiliki konsep yang berdasarkan pada pendekatan obyektif ini. Mengutip pendapat Abrams, Hudayat mengemukakan bahwa Pendekatan objektif (memusatkan perhatian semata-mata pada unsurunsur, antarhubungan, dan totalitas. Pendekatan ini mengarah pada analisis intrinsik. Konsekuensi logis yang ditimbulkan adalah mengabaikan bahkan menolak segala unsur ekstrinsik, seperti aspekhistoris, sosiologis, politis, dan unsur-unsur sosiokultural lainnya, termasuk biografi. Oleh karena itulah, pendekatan objektif juga disebut analisis otonomi (Hudayat, 2007: 48-49).  

Lebih lanjut dikatakan Hudayat, pemahaman dipusatkan pada analisis terhadap unsur-unsur dengan mempertimbangkan keterjalinan antarunsur di satu pihak dan unsurunsur dengan totalitas di pihak lain. Konsep dasar pendekatan ini, mengutip Hawkes, adalah karya sastra merupakan sebuah struktur yang terdiri dari bermacam-macam unsur pembentuk struktur. Antara unsur-unsur pembentuknya ada jalinan erat (koherensi). Tiap unsur tidak mempunyai makna dengan sendirinya melainkan maknanya ditentukan oleh hubungan dengan unsur-unsur lain yang terlibat dalam sebuah situasi. Makna unsur-unsur karya sastra itu hanya dapat dipahami sepenuhnya atas dasar tempat dan fungsi unsur itu dalam keseluruhan karya sastra.  

Teori-teori sastra yang dapat digunakan dalam analisis dengan pendekatan obyektif adalah teori-teori dalam wilayah strukturalisme, seperti naratologi Gerard Genned, teori Tata Sastra Tsvetan Todorov, Naratologi Propp, van Luxemburg, teori strukturalisme dinamik, dan yang lainnya. Pendekatan obyektif memiliki kelemahan, yaitu menolak unsur-unsur ekstrinsik dalam karya sastra. 

Pendekatan berorientasi teks dapat dibagi dalam lima pembahasan, yaitu: filologi, retorika dan stilistika, formalisme dan strukturalisme, kritik serta semiotika dan dekonstruksi. Pendekatan objektif lebih menganggap karya sastra sebagai suatu yang dapat berdiri sendiri. Pendekatan objektif dapat dikategorikan kedalam beberapa jenis, diantaranya:  

a. Filologi  

Filologi adalah pendekatan yang memusatkan perhatian pada seputarpermasalahan editorial dan rekonstruksi teks. Filologi mengalami masa kejayaan pada masa Renaissance. Pada masa itu dibuktikan dengan beberapa penemuan diantaranya; penemuan kembali penulis kuno, penemuan mesin cetak, dan keinginan untuk mengeditteksdenganbenar, tetap menjadisalah satu yang dominan dalam abad kesembilan belas. Pada masa Renaissance, ilmu pengetahuan modern mulai berkembang. Sebagai contoh, pada pendekatan filologi, mulai terjadi perpaduan antara metodologi empiris dan literatur teks. 

b. Retorika dan Stilistika  

Selain masalah editorial, pendekatan berorientasi teks saat ini berfokus terutama pada aspek bentuk (tekstual dan narasi struktur, sudut pandang, alur-pola) dan gaya (kiasan retoris, pilihan kata atau diksi, sintaks, meter). Pada abad kesembilan belas, Retorika akhirnya kehilangan pengaruh dan sebagian berkembang menjadi Stilistika, 

Stilistika difokuskan pada struktur tata bahasa (lexis, sintaks), unsur-unsur akustik (melodi, sajak, meter, ritme) dan bentuk menyeluruh (kiasan retoris) dalam analisisnya teks.  

c. Formalisme dan Strukturalisme  

Istilah Formalisme dan Strukturalisme mencakup beberapa bidang di paruh pertama abad kedua puluh yang tujuan utamanya terletak pada penjelasan dari pola formal dan struktural teks sastra. Formalisme dan strukturalisme ini berusaha menjelaskan pola dan struktur kebahasaan dalam teks sebuah karya sastra. sastra. 

Pendekatan struktural sering juga dinamakan pendekatan objektif, pendekatan formal atau pendekatan analitik. Pandangan ini bertolak dari asumsi dasar bahwa karya sastra sebagai karya kreatif memiliki otonomi penuh yang harus dilihat sebagai suatu sosok yang berdiri sendiri terlepas dari hal-hal lain yang berada di luar dirinya (Semi, 2012: 84). Penekanan strukturalisme adalah memandang karya sastra sebagai teks mandiri (Endraswara, 2013: 51). Penelitian atau telaah sastra dilakukan secara objektif, yaitu menekankan pada aspek intrinsik karya sastra.  

d. New Criticism  

Berbeda dengan formalisme dan strukturalisme, kritik merupakan pendekatan telaah sastra yang berkembang pada tahun 1930-an dan 1940-an. Objek kajian kritik sastra diantaranya adalah kritik evaluatif. Pada Kritik, untuk mempertahankan sikap objektifnya, seorang kritikus harus fokus pada keunikan teks. Pada pendekatan ini, karya sastra ditelaah berdasarkan pada dimensi intrinsik teks.  

e. Semiotika dan Dekonstruksi  

Semiotika dan dekonstruksi adalah metode terbaru dalam teori sastra yang berorientasi pada teks. Pendekatan ini menganggap bahwa teks sebagai sistem tanda. Artinya, setiap teks yang terdapat dalam karya sastra mewakili objek tertentu yang disebut petanda. Pada pendekatan Semiotika dan dekonstruksi, bahasa dan teks dipandang sebagai bagian dari sistem yang maknanya diciptakan oleh interaksi tandatanda yang berbeda serta fitur internal yang berbeda dari unsur-unsurnya.  


Sumber: 

Emzir, dkk. 2018. Tentang Sastra (Orkestra dan Teori Penjelasannya) Cetakan Pertama. 

Yogyakarta: Penerbit Garudhawacana. 

 

http://staffnew.uny.ac.id/upload/132049472/pendidikan/materi-kuliah-pengantar-ilmu-sastra-iipendekatan-dalam-pengkajian-sastra.pdf  

 

Ilma, Awla Akbar dan Puri Bakthawar. 2019. Metode Penelitian Sastra Lokal: Sebuah Rumusan Awal. Jurnal Sasindo Unpam (Online), Vol. 7, Nomor 2, hlm. 24-36. Diakses dari http://openjournal.unpam.ac.id/index.php/Sasindo/article/download/3690/2850 , pada 13 Desember 2020. 

 

Melanie, Budianta. Dkk. 2003. MEMBACA SASTRA Pengantar Memahami Sastra untuk Perguruan Tinggi (Cetakan kedua). Magelang: Indonesia Tera. 

 

Suhariyadi. 2014. PENGANTAR ILMU SASTRA Orientasi Penelitian Sastra. Lamongan: CV Pustaka Ilalang Group. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Membangun Ketegangan dalam Novel Anda: Tip dan Trik Agar Pembaca Tetap Terpikat

Peran Setting dalam Membangun Atmosfer pada Novel

Gaya Penulisan dan Bahasa dalam Novel: Keunikan dan Pengaruhnya