Pengertian dan Jenis Pendekatan Kajian Sastra

 




       1. Pendekatan Strukturalisme 

Strukturalisme merupakan cara pandang secara filosofis terhadap obyek atau realitas. Dengan kata lain, strukturalisme sesungguhnya paham filsafat yang memandang dunia atau realitas sebagai sistem yang terstruktur, otonom, self-regulatif, dan obyektif. Paham yang pernah dominan sepanjang abad XIX ini melepaskan kajiannya dari aspek sejarah dan sosiokultural. Jika ditempatkan dalam model pendekatan sastra, cara pandang strukturalisme mengkaji karya sastra dari aspek instrinsiknya. Karya sastra dianggap sebagai kualitas terstruktur yang terdiri atas unsur-unsur yang secara fungsional berelasi membentuk sistem struktur dari dalam. Pendekatan struktural bertujuan membongkar dan memaparkan secermat, seteliti, semendetil, dan semendalam mungkin keterkaitan dan keterjalinan semua unsur dan aspek karya sastra yang bersama-sama menghasilkan makna menyeluruh (Teeuw, 1984). 

Kelemahan metode strukturalisme adalah keyakinannya yang terlalu berlebihan terhadap otonomi karya sastra. Akibatnya, terabaikanlah dua hal pokok yang penting dipertimbangkan dalam rangka mencari dan menemukan makna karya sastra, yakni kerangka sejarah dan kerangka sosial budaya yang mengitari karya sastra tersebut. Secara lebih rinci kelemahan itu adalah: 

a.     Strukturalisme murni belum mengungkapkan teori sastra yang tepat dan lengkap. 

b.     Menelaah karya sastra secara terpisah, padahal karya sastra harus diteliti dan dipahami dalam rangka sistem sastra dengan latar belakang sejarah. 

c.     Terlalu meyakini bahwa karya sastra mempunyai struktur yang objektif. 

d.     Telaah strukturalisme yang hanya menekankan otonomi karya sastra akan menghilangkan fungsi referensialnya, sehingga karya sastra dimenaragadingkan dan kehilangan relevansi sosialnya. 

 

Sedangkan keuntungan metode strukturalis-me yang memegang teguh kelengkapan, keterjalinan struktur dan otonomi karya sastra, serta metode telaah sastra yang disukai ini adalah sebagai berikut: 

a.     Penelaah atau apresiator tidak perlu memiliki latar belakang budaya, sejarah, psikologi, sosiologi, filsafat dan sebagainya yang cukup luas untuk membaca karya sastra. 

b.     Pembaca dapat menggali struktur karya sastra sedalam-dalamnya sampai pada keterjalinannya yang paling rumit sekalipun. 

c.     Pembeca dapat menelaah karya sastra secara objektif karena hanya menelaah struktur karya sastra. 

 

2.       Pendekatan Semiotik 

Semiotika berasal dari kata Yunani: Semeion, yang berarti tanda. Semiotika adalah ilmu yang mempelajari tentang tanda (sign), berfungsinya tanda, dan produksi makna. Tanda adalah sesuatu yang bagi seseorang berarti sesuatu yang lain. Segala sesuatu yang dapat diamati atau dibuat teramati dapat disebut tanda. Karena itu, tanda tidaklah terbatas pada benda. Adanya peristiwa, tidak adanya peristiwa, struktur yang ditemukan dalam sesuatu, suatu kebiasaan, semua ini dapat disebut tanda.  

Kajian semiotika membedakan dua jenis semiotika, yakni semiotika komunikasi dan semiotika signifikasi (Eco dan Hoed dalam Sobur, 2003). Semiotika komunikasi menekankan pada teori tentang produksi tanda yang salah satu diantaranya mengasumsikan adanya enam faktor dalam komunikasi, yaitu pengirim, penerima kode (sistem tanda), pesan, saluran komunikasi, dan acuan (hal yang dibicarakan) serta memberikan tekanan pada teori tanda dan pemahamannya dalam suatu konteks tertentu. Semiotika signifikasi tidak mempersoalkan adanya tujuan berkomunikasi. Yang diutamakan adalah segi pemahaman suatu tanda sehingga proses kognisinya pada penerima tanda lebih diperhatikan dari pada proses komunikasinya. 

Secara garis besar pendekatan semiotik merupakan pendekatan yang memandang karya sastra sebagai sistem tanda karena manusia selalu berada dalam proses semiosis, yaitu memahami sesuatu yang ada di sekitarsebagai sistem tanda. Bahasa dan sastra merupakan sistem tanda. Bahasa sebagai sistem tanda tingkat pertama dan sastra merupakan sistem tanda tingkat kedua. Tanda terdiri dari dua aspek, yaitu: penanda merupakan hal yang menandai sesuatu dan pertanda yang diacu atau dituju oleh tanda tertentu. 

Art van Zoest dalam (Santosa, 1993:3) mendefinisikan, semiotika adalah studi tentang tanda dan segala yang berhubungan de-ngannya: cara berfungsinya, hubungan de-ngan tanda-tanda lain, pengirimannya, dan penerimaannya oleh mereka yang mempergunakannya. Secara khusus semiotika dibagi a-tas tiga bagian utama, yaitu  

a.     Sintaksis semiotik, studi tentang tanda yang berpusat pada penggolongannya, pada hubungannya dengan tanda-tanda lain, dan pada caranya bekerja sama menjalankan fungsinya;  

b.     Semantik se-miotik, studi yang mononjolkan hubungan tanda-tanda dengan acuannya dan dengan intepretasi yang dihasilkannya; dan  

c.     Prakmatik semiotik, studi tentang tanda yang mementingkan hubungan antar tanda dengan pengirim dan penerima. 

 

3.       Pendekatan Sosiologi Sastra 

Mengacu pada inventarisasi yang dilakukan Ratna tentang definisi sosiologi sastra, hubungan karya sastra dengan masyarakat dapat dijelaskan sebagai berikut.  

a.     Pemahaman terhadap          karya   sastra   dengan            mempertimbangkan    aspek-aspek kemasyarakatannya.  

b.     Pemahaman terhadap totalitas karya yang disertai dengan aspek-aspek kemasyarakatan yang terkandung di dalamnya. 

c.     Pemahaman terhadap karya sastra sekaligus hubungannya dengan masyarakat yang melatarbelakanginya.  

d.     Analisis terhadap karya sastra dengan mempertimbangkan seberapa jauh peranannya dalam mengubah struktur kemasyarakatan.  

e.     Analisis yang berkaitan dengan manfaat karya dalam membantu perkembangan masyarakat 

f.      Analisis mengenai seberapa jauh keterlibatan langsung pengarang sebagai anggota masyarakat.  

g.     Sosiologi sastra adalah analisis institusi sastra.  

h.     Sosiologi sastra adalah kaitan langsung antara karya sastra dengan masyarakat. (Ratna, 2011: 2-3). 

Beberapa pemikiran yang dihimpun Ratna di atas dapat dipakai untuk menjelaskan mengenai pendekatansosiologis dalam penelitian sastra. Dari berbagai pemikiran tersebut terdapat kesamaan bahwa proposisi tentang hubungan antara sastra dan masyarakat tak terbantahkan. Proposisi inilah yang kemudian memicu muncul dan berkembangnya pendekatan sosiologis tersebut. Dan sepanjang sejarahnya, pendekatan sosiologi dalam penelitian sastra menjadi pendekatan yang sangat digemari. Apalagi ketika strukturalisme mengalami stagnasi, dan munculnya postrukturalisme, pendekatan sosiologi semakin dominan. Hubungan antara karya sastra dengan masyarakat sebagai landasan pendekatan sosiologis dilatarbelakngi hal-hal berikut:  

a.     Sastra menampilkan gambaran kehidupan; dan kehidupan itu sendiri adalah suatu kenyataan sosial. Dalam pengertian ini, kehidupan menyangkut hubungan antarmasyarakat, masyarakat dengan orang-seorang, antarmanusia, dan antarperistiwa yang terjadi dalam batin seseorang (Damono, 1984: 1).  

b.     Seluruh kejadian dalam karya, bahkan juga karya-karya yang termasuk ke dalam genre yang paling absurd pun merupakan prototipe kejadian yang pernah dan mungkin terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Dengan ciri kreativitas dan imajinasinya, sastra memiliki kemungkinan yang paling luas dalam mengalihkan keragaman kejadian alam semesta ke dalam totalitas naratif semantis, dari kuantitas kehidupan sehari-hari ke dalam kualitas dunia fiksional (Ratna, 2011: 35). 

c.     Pengarang sebagai pencipta karya adalah anggota masyarakat. Ia hidup, dibina, dipedomani, dan dibentuk oleh sosiokultural masyarakatnya. Dengan demikian, apa yang dilakukan pengarang akan diwarnai dan dipengaruhi oleh latar belakang masyarakatnya.  

d.     Karya sastra sebagai produk budaya, merupakan institusi sosial. Sebagai institusi sosial, karya sastra memiliki peran dan fungsi dalam rangka sosialisasi nilai-nilai, pendidikan, kritik sosial, dan penilaian terhadap kenyataan masyarakatnya. 

 

4.       Pendekatan Resepsi Sastra 

Resepsi sastra merupakan aliran sastra yang meneliti teks sastra dengan mempertimbangkan pembaca selaku pemberi sambutan atau tanggapan. Dalam memberikan sambutan dan tanggapan tentunya dipengaruhi oleh faktor ruang, waktu, dan golongan sosial (Sastriyani 2001:253). Resepsi berasal dari bahasa Latin yaitu recipere yang diartikan sebagai penerimaan atau penyambutan pembaca (Ratna dalam Rahmawati 2008:22). Dalam arti luas resepsi diartikan sebagai pengolahan teks, cara-cara pemberian makna terhadap karya, sehingga dapat memberikan respon terhadapnya. Respon yang dimaksudkan tidak dilakukan antara karya dengan seorang pembaca, melainkan pembaca sebagai proses sejarah, pembaca dalam periode tertentu (Ratna dalam Walidin 2007). Menurut Pradopo (2007:218) yang dimaksud resepsi adalah ilmu keindahan yang didasarkan pada tanggapantanggapan pembaca terhadap karya sastra. Teeuw (dalam Pradopo 2007:207) menegaskan bahwa resepsi termasuk dalam orientasi pragmatik. Karya sastra sangat erat hubungannya dengan pembaca, karena karya sastra ditujukan kepada kepentingan pembaca sebagai menikmat karya sastra. Selain itu, pembaca juga yang menentukan makna dan nilai dari karya sastra, sehingga karya sastra mempunyai nilai karena ada pembaca yang memberikan nilai. 

Macam-macam pendekatan resepsi sastra:  

a. Resepsi Sastra Eksperimental 

Dilakukan dengan studi lapangan. Pembaca memberikan tanggapannya terhadap karya sastra dengan mengisi daftar pertanyaan. Jawaban yang menunjukkan tanggapan para pembaca kemudian dianalisis secara sistematik dan kuantitatif, dapat pula dipancing jawaban yang tidak terarah dan bebas, kemudian dianalisis secara kualitatif. Hanya berlaku untuk teks-teks sastra masa kini. Bertujuan mengungkapkan reaksi pembaca masa kini.  

b. Resepri lewat Kritik Sastra 

Dikembangkan oleh Felix Vodicka. Kritikus dianggap sebagai penanggap utama dan khas karena dapat menetapkan konkretisasi (pemaknaan) karya sastra.  

c. Resepsi Melalui Fisik Teks  

Dalam resepsi ini dilakukan dengan pendekatan intertekstual, penyalinan, penyaduran, dan penerjemahan.

 

5.       Pendekatan Psikologi Sastra 

Pendekatan psikologis pada dasarnya berhubungan dengan tiga gejala utama, yaitu: 

pengarang, karya sastra dan pembaca, dengan pertimbangan bahwa pendekatan psikologis lebih banyak berhubungan dengan pengarang dan karya sastra. Apabila perhatiannya ditujukan kepada pengarang maka model penelitiannya lebih dekat dengan pendekatan ekspresif, sebaliknya, apabila perhatiannya ditujukan pada karya, maka model penelitiannya lebih dekat dengan pendekatan obyektif (Ratna, 2011: 61).  

Menurut Endaswara (2011:96), psikologi sastra adalah kajian sastra yang memandang karya sebagai aktivitas kejiwaan. Pengarang akan menggunakan cipta, rasa, dan karya dalam berkarya. Karya sastra yang dipandang sebagai fenomena psikologis, akan menampilkan aspek-aspek kejiwaan melalui tokoh-tokoh jika kebetulan teks berupa drama maupun prosa. 

Pendekatan psikologi mempunyai tiga kemungkinan penelitian. Pertama, penelitian terhadap psikologi pengarang sebagai tipe atau sebagai pribadi, studi ini cenderung ke arah psikologi seni. Peneliti berusaha menangkap kondisi kejiwaan seorang pengarang pada saat menelorkan karya sastra. Kedua, penelitian proses kreatif dalam kaitannya dengan kejiwaan, studi ini berhubungan pula dengan psikologi proses kreatif. Bagaimanakah langkah-langkah psikologis ketika pengarang mengekspresikan karya sastra menjadi focus. Ketiga, penelitian hukum-hukum psikologi yang diterapkan pada karya sastra. Dalam kaitan ini studi dapat diarahkan pada teori-teori psikologi, misalnya psikoanalisis ke dalam sebuah teks sastra, khususnya terhadap unsur tokoh. 

 

6.       Pendekatan Moral 

Sastra dianggap sebagai sarana pendidikan moral (Darma, 1984:47). Moral sendiri diartikan sebagai suatu norma, suatu konsep tentang kehidupan yang dijunjung tinggi oleh sebagian besar masyarakat tertentu (Semi, 1993:49). Namun kepentingan moral dalam sastra sering tidak sejalan dengan usaha untuk menciptakan keindahan dalam karya sastra (Darma, 1984:54). Pengalaman mental yang disampaikan pengarang belum tentu sejalan dengan kepentingan moral. Menurut Djojosuroto (2006:81), meski moral yang disampaikan pengarang dalam karya sastra biasanya selalu menampilkan pengertian yang baik, tetapi jika terdapat tokoh-tokoh yang mempunyai sikap dan tingkah laku yang kurang terpuji atau tokoh antagonis, tidak berarti tingkah laku yang kita ambil harus seperti tokoh tersebut. 

Berdasarkan pendapat para ahli maka dapat disimpulkan bahwa aspek moral adalah ukuran yang digunakan untuk menentukan betul salahnya sikap dan tindakan manusia dilihat dari segi baik buruknya berdasarkan pandangan hidup masyarakat. Nilai-nilai moralis yang tercantum dalam karya sastra dapat berbentuk tingkah laku yang sesuai dengan kesusilaan, budi pekerti, dan juga akhlak. Dapat dikatakan bahwa pendekatan moral adalah seperangkat asumsi yang paling berkaitan tentang sastra dalam hubungannya dengan nilai-nilai moral dan pengajarannya. 

 

7.       Pendekatan Feminisme 

Goefe berpendapat bahwa feminis ialah teori tentang persamaan antara laki-laki dan perempuan di bidang politik, ekonomi, dan sosial atau kegiatan terorganisasi yang memperjuangkan hak-hak serta kepentingan perempuan (Sugihastuti, 2008:18), sedangkan menurut Yubahar Ilyas (1997:11), feminisme adalah kesadaran atau ketidakadilan genre yang menimpa kaum perempuan, baik dalam keluarga maupun masyarakat, serta tindakan sadar oleh perempuan maupun laki-laki untuk mengubah keadaan tersebut. Paham feminis lahir dan mulai berkobar pada sekitar akhir 1960-an di Barat, dengan beberapa faktor penting yang mempengaruhinya. Gerakan ini mempengaruhi banyak segi kehidupan dan mempengaruhi pula setiap aspek kehidupan perempuan. Sejak akhir 1960-an ketika kritik feminis dikembangkan sebagai bagian dari gerakan perempuan internasional, anggapan tentang studi kritik sastra feminis ini pun menjadi pilihan yang menarik. Menurut Ratna 

(dalam Al-Ma’ruf, 2017:116), teori feminis telah dimanfaatkan oleh kaum wanita sebagai alat untuk memperjuangkan haknya, yang berkaitan dengan konlik kelas dan ras, khususnya tentang konflik jender.  

Sastra feminis menawarkan pandangan bahwa para pembaca perempuan dan kritikus perempuan membawa peresepsi, pengertian, dugaan yang berbeda pada pengalaman membaca karya sastra apabila dibandingkan dengan laki-laki. Wawasan mereka yang diawali oleh para pelopornya selanjutnya berkembang dalam aneka raga segi. Jiwa analisis kritik sastra feminis adalah analisis gender. Dalam analisis gender kritikus harus dapat membedakan konsep gender dengan seks (jenis kelamin). Gender adalah suatu sifat yang melekat pada kaum pria dan wanita yang dikonstruksi secara sosial dan kultural melalui proses panjang jadi gender merupakan konstruksi sosial-kultur yang pada dasarnya merupakan interpretasi kultural atas perbedaan jenis kelamin (Fakih dalam Al-Ma’ruf, 2017:117). Misalnya, bahwa wanita itu dikenal lemah lembut, cantik, sering mengedepankan perasaan (emosional), pemalu, setia, dan keibuan. Adapun pria dianggap kuat, gagah, sering mengedepannkan akal (rasional), agresif, tidak setia, jantan dan perkasa.  

Sugihastuti, (2016:5) menyatakan bahwa kritik sastra feminis adalah pengkritik memandang sastra dengan kesadaran khusus, kesadaran bahwa ada jenis kelamin yang banyak berhubumgan dengan budaya, sastra dan kehidupan kita. Jenis kelamin inilah yang membuat perbedaan di antara semuanya yang juga membuat perbedaan pada diri pengarang, pembaca, perwatakan, dan para faktor luar yang mempengaruhi situasi karang-mengarang. Perempuan di dalam karya sastra ditampilkan dalam kerangka hubungan ekuvalensi dengan seperangkat tata nilai marginal dan yang tersubordinasi lainnya, yaitu sentimentalitas, perasaan, dan spiritualitas. Perempuan hampir selalu merupakan tokoh yanf dibeda, korban yang selalu diimbau untuk mendapatkan perhatian (Faruk dalam Sugihastuti, 2016:67). 

Kuiper (dalamSugihastuti, 2016:68) menunjukkan banyaknya pendekatan terhadap karya sastra yang berdasarkan pada masalah gender. Pendekatan karya sastraberdasarkan gender yang kemudian disebut kritik sastra feminis ini didirikan dengan beberapa tujuan, diantaranya:  

a.       untuk mengkritik kanon karya sastra Barat dan untuk menyoroti hal-hal yang bersifat standar yang didasarkan pada patriarkhat;  

b.       untuk menampilkan teks-teks yang terlupakan dan yang diremehkan yang dibuat oleh perempuan;  

c.       untuk mengokohkan gynocriticism, studi tulisan-tulisan yang dipusatkan pada perempuan,dan untuk mengokohkan kanon perempuan; serta  

d.       untuk mengeksplorasi konstruksi-konstruksi kultural dari gender dan identitas. 

 

8.       Pendekatan Wacana 

D. Maingueneau yang dikutip Zaimar (2009) mengatakan bahwa wacana terdiri atas satu kata, satu kalimat maupun banyak kalimat. Wacana dapat juga dipakai istilah ujaran (speech) yang merupakan perpaduan bahasa dan ujaran. Oleh karena itu, wacana dapat berwujud satu kata, satu kalimat, satu paragraf, satu artikel, satu buku, juga dapat berupa beberapa buku, bahkan satu bidang ilmu. Sejalan dengan pendapat di atas, Hamad (2007) menyatakan wacana adalah bahasa yang bermakna yang dapat berbentuk lisan, tulisan, dan simbol. Wujud dari bentuk wacana dapat berupa: (1) teks, berupa pengumuman, karangan, makalah, skripsi roman, dsb; (2) ucapan, berupa percakapan, tanya jawab, dialog, dsb; (3) lakon, berupa drama, sinetron, puisi, atraksi, dsb; (4) ) artefak, berupa bangunan, alat-alat batu, logam , puing, dsb.  

Pendekatan wacana dapat disebutwacana analisis. Sebuah analisis digunakan untuk melacak dan menganalisis historitas lahirnya konsep dengan latar belakang. Teori yang umum denganpendekatan ini adalah teori Arkeologi Ilmu Pengetahuan yang ditawarkan Michel Foucault (1926-1984). Pandangan Saphioro ini menyiratkan bahwa kaidah norma, atau standar (dalam hal ini sintaksis dan semantik) sangatmenentukan nilai suatu wacana. Secara lebih sederhana, Crystal dan Cook dalamNunan (1993) mendefinisikan discourse atau wacana sebagai unit bahasa lebihbesar dari pada kalimat, sering berupa satuan yang runtut atau koheren danmemiliki tujuan dan konteks tertentu, seperti ceramah agama, argument, leluconatau cerita.  

Walaupun tidak setegas Saphiro, Nunan melihat pentingnyaunsur-unsur keruntutan dan koherensi sebagai hal yang penting untuk menilaisebuah wacana. Sementara Lubis secara lebih netral (2004:49) mendefinisikanwacana atau diskursus sebagai kumpulan pertanyaan-pertanyaan yang ditulis ataudiucapkan atau dikomunikasikan dengan menggunakan tanda-tanda. While (dalamLubis, 2004: 49) mengartikannya sebagai dasar utuk memutuskan apa yang akanditetapkan sebagai suatu fakta dalam masalah-masalah yang dibahas, dan untukmenentukan apa yang sesuai untuk memahami fakta-fakta yang kemudian ditetapkan.Tidak seperti yang lain penulis melihat wacana lebih sebagai sebab dati padasebagai akibat atau produk. 

Oleh karena itu, tidak selamanya wacana berbentuk tulisan di media massa dan di media cetak. Wacana yang telah dibuat dapat dikritisi dan dianalisis oleh orang lain yang biasa disebut analisis wacana kritis/critical discourse analysis (CDA). Analisis wacana kritis merupakan telaah yang dilakukan seseorang untuk mengkaji lebih dalam makna sesungguhnya yang akan disampaikan oleh pembicara atau penulis dalam tulisan mereka. Yang dianalisis dalam wacana kritis tidak hanya menggambarkan unsur bahasa saja, melainkan juga mengaitkan dengan konteks. Menurut Darma (2009) analisis wacana kritis adalah studi linguistik yang membahas wacana bukan dari unsur kebahasaan, melainkan mengaitkannya dengan konteks. Konteks di sini maksudnya adalah bahasa digunakan sesuai dengan situasi dan kondisi tertentu agar tujuan yang diinginkan tercapai. Dasar teoretis analisis wacana didasarkan pada beberapa perkembangan sejarah dalam filsafat pengetahuan dan teori sosial. Oleh karena itu, faktor histori, sosial, dan ideologi adalah sumber utama dalam kerangka kerja analisis wacana kritis. Analisis wacana kritis. 

 

 

 

9.       Pendekatan Filologi 

Filologi berasal dari bahasa Yunani Philos dan Philein yang berarti cinta dan logos berarti kata. Pada kedua kata itu membentuk arti cinta kata atau senangbertutur. Maka ini berkembang menjadi senang belajar atau senang kebudayaan. Dalam KBBI filologi berarti ilmu tentang perkembangan, ilmu kerohanian suatu bangsa dan kekhususannya atau tentang kebudayaan berdasarkan bahasa dansastranya. Secara terminologi pendekatan filologi adalah ilmu yang mempelajari bahasa, budaya dan sejarah suatu bangsamelalui bahan tertulis. Filologi diartikan sebagai ilmu yang menyelidiki masa kuno dan nilai berdasarkan naskah-naskah tertulis. Jadi pendekatan filologi adalah pengetahuan tentang sastra-sastra dalam arti luas yang mencakup sastra bahasa dan kebudayaan. Maka filologi berguna untuk meneliti bahasa, kajian linguistik, makna kata-kata dan penilaian terhadap ungkapan karya sastra. Objek kajian filologi adalah teks sasaran kerjanya berupa naskah. Naskah merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan peninggalan tulisan masa lampau dan teks merupakan kandungan yeng tersimpan dalam suatu naskah.  

Naskah yang menjadi objek kajian filologi mempunyai karakteristik bahwa naskah tersebut tercipta dari latar social budaya masyarakat pembaca masa kini dan kondisinya sudah rusak. Bahan yang berupa kertas dan tinta serta bentuk tulisan, dalam perjalanan waktu telah mengalami kerusakan atau perubahan. Gejala yang demikian ini terlihat dari munculnya berbagai variasi bacaan dalam karya tulisan masa lampau. Istilah pendekatan filologis mencakup pengertian-pengertian istilah akademik, baik sebagai kajian secara umum yang disebut sebagai filologi klasik, maupun perkembangan mutakhirnya yang mengalami penyempitan sebagai bagian ilmu linguistik modern. 

Langkah pengkajian filologi mempunyai dua tujuan, yakni tujuan umum dan tujuan khusus. Baroroh-Barried, dkk. (1985: 5-6), menyebutkan bahwa tujuan umum dan tujuan khusus filologi adalah sebagai berikut : 

a.     Tujuan umum filologi : 

-       Memahami sejauh mungkin kebudayaan suatu bangsa melalui hasil sastranya, baik lisan maupun tulisan 

-       Memahami makna dan fungsi teks bagi masyarakat penciptanya 

-       Mengungkapkan nilai-nilai budaya lama sebagai alternative pengembangan kebudayaan. 

b.    Tujuan khusus filologi : 

-       Menyunting sebuah teks yang dipandang paling dekat dengan teks aslinya 

-       Mengungkap sejarah terjadinya teks dan sejarah perkembangannya -       Mengungkap resepsi pembaca pada setiap kurun penerimaannya. 

 

10. Pendekatan Hermeneutika 

Secara tradisional, hermeneutika (hermeneutics) diartikan sebagai teori atau ilmu penafsiran. Term ini berasal dari bahasa Yunani hermeneuein, yang berarti menafsirkan atau menerjemahkan sesuatu ke dalam bahasa seseorang; atau dapat berarti memberikan ekspresi kepada atau pada yang lain. Dikatakan juga ia berasal dari kata hermeneutiko dengan pengertin yang mirip. Aristoteles menggunakan istilah hermeneias dalam bukunya Peri Hermeneias, yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris menjadi On the Interpretation dan ke dalam bahasa Arab menjadi Fi al-‘Ibarah.  

Richard E. Palmer mengidentifikasi enam definisi hermenutika: Pertama, theory of biblical exegesis (teori penafsiran Bibel); Kedua, philological methodology (metodologi filologis); Ketigathe science of linguistic understanding (ilmu linguistika pemahaman); Keempat, foundation for geisteswissenschaften (fondasi metodologi ilmu-ilmu kemanusiaan/humainora); Kelima, the phenomenology of Dasein and existential understanding (fenomenologi Dasein dan pemahaman eksistensial); dan Keenam, system of interpretation (sistem penafsiran). 

Dalam konteks perbincangan mengenai hermeneutika modern, Bleicher mengelompokkan garapan hermeneutika ke dalam tiga kelompok besar, yaitu hermeneutika sebagai metode/teori, filsafat dan kritik. Bertolak dari klasifikasi yang diajukan oleh Bleicher itulah pembahasan ini akan berupaya mengetengahkan kembali hasil pemahaman secara komprehensif mengenai hermeneutika. Di samping itu, pembahasan juga diupayakan untuk menguraikan signifikansi hermeneutika dalam kajian sastra dan menjelaskan apakah hermeneutika dalam interpretasi sastra merupakan konsep metodologis atau ontologis. 

a.       Hermeneutika Metodologis: Model ini memfokuskan pembahasannya pada problematika dalam penafsiran secara umum, dikenal sebagai metodologi bagi ilmuilmu kemanusian/humainora (geisteswissenschaften). Melalui analisa pemahaman (verstehen) sebagai metode yang cocok untuk melakukan proses “mengalami ulang” (re-experiencing) atau “memikirkan ulang” (re-thinking) tentang apa yang telah secara sebenarnya dirasakan dan dipikirkan oleh pengarang. Proses hermeneutik seperti ini diharapkan akan membantu mengerti suatu proses pemahaman secara umum, yaitu bagaimana pembaca mampu mentrans posisikan atau mengatur kembali suatu kompleksitas pemahaman pengarang ke dalam pemahaman pembaca dengan dunianya sendiri 

b.     Hermeneutika Filosofis: Hermeneutika filosofis menolak hermeneutika metodologis atau teoritis karena karater obyektivismenya yang terlalu menekankan pada pencarian basis penelitian ilmiah pemahaman. Hermeneutika filosofis meyakini bahwa peneliti sosial atau pembaca selalu berada dalam keterkaitannya dengan satu konteks tradisi. 

c.     Hermeneutika Kritis: Hermenutika kritis melakukan pencarian makna dalam proses dialog antara isi teks dan struktur ideologi realitas. Lebih spesifik lagi, hermenutika kritis mencari sebab-sebab pemahaman dan komunikasi yang distorsif (teralihkan atau terkurangi) dalam situasi interaksi yang normal. 

Sumber: 

Emzir, dkk. 2018. Tentang Sastra (Orkestra dan Teori Penjelasannya) Cetakan Pertama. 

Yogyakarta: Penerbit Garudhawacana. 

 

http://staffnew.uny.ac.id/upload/132049472/pendidikan/materi-kuliah-pengantar-ilmu-sastra-iipendekatan-dalam-pengkajian-sastra.pdf  

 

Ilma, Awla Akbar dan Puri Bakthawar. 2019. Metode Penelitian Sastra Lokal: Sebuah Rumusan Awal. Jurnal Sasindo Unpam (Online), Vol. 7, Nomor 2, hlm. 24-36. Diakses dari http://openjournal.unpam.ac.id/index.php/Sasindo/article/download/3690/2850 , pada 13 Desember 2020. 

 

Melanie, Budianta. Dkk. 2003. MEMBACA SASTRA Pengantar Memahami Sastra untuk Perguruan Tinggi (Cetakan kedua). Magelang: Indonesia Tera. 

 

Suhariyadi. 2014. PENGANTAR ILMU SASTRA Orientasi Penelitian Sastra. Lamongan: CV Pustaka Ilalang Group. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Membangun Ketegangan dalam Novel Anda: Tip dan Trik Agar Pembaca Tetap Terpikat

Peran Setting dalam Membangun Atmosfer pada Novel

Gaya Penulisan dan Bahasa dalam Novel: Keunikan dan Pengaruhnya