Potret Jiwa yang Terbelenggu Dalam Puisi Padamu Jua

 Padamu Jua – TAJDID.ID

Padamu Jua

Karya Amir Hamzah

 

Habis kikis
Segala cintaku hilang terbang
Pulang kembali aku padamu
Seperti dahulu

Kaulah kandil kemerlap
Pelita jendela di malam gelap
Melambai pulang perlahan
Sabar, setia, selalu

Satu kasihku
Aku manusia
Rindu rasa
Rindu rupa

Di mana engkau
Rupa tiada
Suara sayup
Hanya kata merangkai hati

Engkau cemburu
Engkau ganas
Mangsa aku dalam cakarmu
Bertukar tangkap dengan lepas

Nanar aku, gila sasar
Sayang berulang padamu jua
Engkau pelik menarik ingin
Serupa darah dibalik tirai

Kasihku sunyi
Menunggu seorang diri
Lalu waktu—bukan giliranku
Mati hari—bukan kawanku.

 

Tema besar dari puisi ini adalah ungkapan kepasrahan total pada apa yang sudah terjadi atau sedang menimpa penulis akibat rasa kecewa yang sudah tidak bisa lagi diharapkan akan jawaban atas rasa kerinduan yang terpendam, kesetiaan yang selama ini dibina, tetapi tidak lagi bisa diungkapkan dengan realitas yang ada dalam jiwanya. Dalam puisi ini terdapat kekecewaan seseorang akan cinta dunia dan kerinduannya kepada Tuhan, jadi, si aku kecewa kemudian ingin kembali ke seseorang dalam hal ini zat yang tidak terbentuk (Tuhan) yang dia cintai. Orang itu sangat mencintai-Nya dan sangat ingin bertemu dengan-Nya. Akan tetapi, belum waktunya dia bertemu karena masih hidup.

Diksi yang dipilih oleh Amir Hamzah dalam menegaskan pesan yang tertulis pada puisi   Padamu Jua merupakan ungkapan rasa penulisnya akan kekecewaan, kerinduan, pujian, dan kepasrahan terhadap kekasihnya. Diksi dari ungkapannya itu bisa dilihat pada perasaan kecewa yang tersirat berikut.

Habis kikis 

Segala cintaku hilang terbang

Kata habis dan kikis menggambarkan makna kekecewaan akan sesuatu itu sudah tidak ada harapan sama sekali. Kepasrahan meliputi rasa dan jiwa yang sudah putus asa dengan keadaan atau keputusan dari sang kekasih yang tidak lagi bisa memahaminya.

Pulang kembali aku padamu

Seperti dahulu 

Satu kekasihku 

Aku manusia 

Rindu rasa 

Rindu rupa

Kata kembali, dahulu, dan rindu merupakan bentuk pengungkapan kerinduannya pada kekasihnya.

Kaulah kandil kemerlap 

Pelita jendela di malam gelap 

Serupa dara dibalik tirai

Kata kandil, pelita, dan dara adalah bentuk ungkapan pujian terhadap kekasihnya yang memberikan motivasi baru dalam semangat hidupnya.

Mangsa aku dalam cakarmu 

Bertukar tangkap dengan lepas

Kata mangsa dan tangkap merupakan ungkapan rasa pasrah pada kondisi yang dialaminya.

Dalam puisi “Padamu Jua” terdiri atas bahasa kiasan simile, metafora, dan personifikasi. Bahasa kiasan simile terlihat seperti kutipan berikut.

Serupa darah di balik tirai

Terdapat kata serupa yang merujuk ke perbandingan, dimana kata "Engkau", jika dikaitkan dengan larik sebelumnya, seperti darah yang ada di balik tirai, membuat kita terus menerus ingin mengetahui lebih dalam mengenai siapa Tuhan sebenarnya. 

Selain itu terdapat majas metafora implisit, terlihat seperti kutipan berikut.

Pelita jendela di malam gelap

Kata “kau" pada larik sebelumnya, dianalogikan seperti pelita jendela. Penyair ingin membandingkan “kau" dalam larik sebelumnya dengan pelita (cahaya) jendela di malam yang gelap. Pada kutipan tersebut, pengarang mengumpamakan kekasihnya sebagai penerang dalam kegelapan.

Terdapat pula majas personifikasi, terlihat seperti kutipan berikut.

Segala cintaku hilang terbang

Di dalam larik tersebut ada gambaran benda mati, dalam hal ini cinta (benda mati), dapat melakukan sifat-sifat kemanusiaan seperti terbang. Padahal, pada hakekatnya, cinta hanya berupa perasaan dan kata-kata, dan tidak dapat terbang. Kutipan ini menggambarkan akan usaha pengarang selama ini hanya sia-sia belaka.

Hanya kata merangkai hati

Dalam larik tersebut, kata “kata" dapat melakukan sifat kemanusiaan yaitu merangkai. Padahal, pada hakekatnya, “kata" tidak dapat merangkai apa pun dan hanya sebatas kata yang baik dikeluarkan dari mulut (suara) maupun tulisan.

Kasihku sunyi 

Kata sunyi di sini dapat melakukan sifat kemanusiaan seperti menjadi kekasihnya tokoh “kau". Padahal sunyi hanya suatu bentuk kesenyapan yang tidak dapat melakukan apa-apa.

Adapun pengimajian yang ada dalam Padamu Jua  adalah citraan gerak (kinesthetic imagery) dan citraan pendengaran (auditory imagery).

Citraan gerak (kinesthetic imagery) terdapat pada,

Melambai pulang perlahan 

Dari larik di atas, terdapat kata "melambai". Kata ini merupakan dari suatu bentuk yang dapat bergerak. Melambai dapat diartikan sebagai gerakan tangan mulai dari kanan ke kiri, atau sebaliknya. Dengan kata lain, tangan itu menciptakan suatu bentuk visual, yaitu gerak. Dalam hal ini, puisi mengungkapkan suatu gambaran di mana "kau" (dengan larik sebelumnya) menggerakkan tangan.

Citraan pendengaran (auditory imagery) terdapat pada,

Suara sayup 

Dari larik di atas, terdapat kata "suara".  Kata ini merupakan perwakilan dari suatu bentuk yang dapat didengar dengan telinga.  Dengan kata lain, si aku mendengar suara yang sayup, jika diartikan secara harfiah. Dalam hal ini, melukiskan suatu gambaran di mana "si aku" mendengar suara sayup dari tokoh “kau".

Puisi Padamu Jua merupakan sebuah ekspresif manusia akan kekecewaan duniawi. Ini memberikan kita pelajaran bahwa tidak selamanya dunia memberikan kebahagiaan. Hanya kepada Tuhan lah kita dapat merasakan cinta sebenarnya, dan hanya Dialah yang setia, menunggu dengan sabar. Tuhanlah yang dapat memberikan cahaya pada jalan yang gelap dan hanya Dialah yang dapat mencerahi hati orang-orang. Jadi, ketika kita mengalami kekecewaan, cobalah mendekat kepada Tuhan. Mungkin kekecewaan itu akan berkurang.

Puisi ini menceritakan bahwa segala bentuk cintanya telah hilang kecuali pada Cinta Pertama. Hal ini dibuktikan dengan kata-kata “pulang kembali aku padamu.” Maknanya bahwa ia hanya mencintai cinta pertamanya. Dalam puisi ini mengungkapkan alasan kenapa cinta nya kembali kepada yang awal. Dikatakan bahwa dia kembali karena sang kekasih ibarat cahaya yang menerangi kehidupannya. Selain itu sang kekasih juga selalu mengajaknya untuk pulang, agar ia kembali kepadanya. Sang kekasih menunggunya dengan sangat sabar dan setia. Itulah alasan kenapa akhirnya sang penyair mengatakan cintanya pulang kembali.

Terungkap bahwa yang disebut kekasih adalah Tuhan. Penulis memberikan alasan kenapa ia sulit sekali menjalin cinta dengan Tuhan. ternyata ia adalah manusia yang tidak bisa melihat Tuhan dengan mata kepalanya sendiri.  Ia rindu kepada Tuhannya. Akan tetapi dimanakah bisa menemukan Tuhan, sedangkan ia tidak bisa melihat rupanya, tidak bisa mendengarkan suaranya. Sifat dari kekasihnya yakni Tuhan sangat cemburu, maksudnya jangan sampai manusia menyembah selain diri-Nya. Engkau ganas, artinya Tuhan memiliki kekuatan untuk mengazab hamba-Nya yang tidak taat. 

Antara sifat si penyair dan juga keinginan dari Tuhan, membuat penyair kesulitan. Diungkapkan dengan kata-kata “nanar aku, gila sasar.” Maksudnya si penyair kebingungan apa yang harus diperbuat olehnya. Dalam keadaan demikian hatinya tetap terpaut kepada Tuhan. Karena Tuhan memiliki sesuatu yang membuatnya terus menerus ingin mengetahui lebih dalam. Akhirnya sang penyair merasakan bahwa ia di dalam kesunyian. Menunggu pertemuan dengan kekasihnya dalam keadaan rindu sekaligus tidak tahu yang sebenarnya.

Puisi ini mendapat pengaruh yang kuat dari pujangga sufi. Dimana agama dan sejarah sangat mempengaruhinya. Hal ini membangun kesan dalam puisi Padamu Jua terdapat sesuatu yang mistik, tentu hal ini erat kaitannya dengan hubungan manusia dengan penciptanya. Puisi ini mengandung sifat sufistik, dimana puisi ini dibuat atau dihasilkan sebagai salah satu cara mengungkapkan pengalaman untuk mendekatkan diri pada penciptanya. Secara sederhana sebagai ungkapan akan gagasan kerohanian dan tentu saja hal ini tidak mungkin tanpa adanya pengalaman batin tertentu dari diri si penulis. Puisi ini juga berisi kerinduan dan kesedihan yang mendalam. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Membangun Ketegangan dalam Novel Anda: Tip dan Trik Agar Pembaca Tetap Terpikat

Suntikan Nasionalisme Dalam Novel Laut Bercerita Karya Leila S. Chudori

Pengaruh Budaya dan Latar Belakang pada Karya Sastrawan