Analisis Unsur Estetika Pada Puisi “Di Beranda Ini Angin Tak Kedengaran Lagi” Karya Goenawan Mohamad Dengan Metode The Liang Gi
Di Beranda Ini Angin Tak Kedengaran Lagi
Karya: Goenawan Mohamad
Di beranda ini angin tak kedengaran lagi
Langit terlepas. Ruang menunggu malam hari
Kau berkata: pergilah sebelum malam tiba
Kudengar angin mendesak ke arah kita
Di piano beryanyi baris dari Rubayat
Di luar detik dan kereta telah berangkat
Sebelum bait pertama. Sebelum selesai kata
Sebelum hari tau ke mana lagi akan tiba
Aku pun tahu: sepi kita semula
bersiap kecewa, bersedih tanpa kata-kata
Pohon-pohon pun berbagi dingin di luar jendela
mengekalkan yang esok mungkin tak ada
1. Kesatuan
Puisi ini bertema tentang “Kesunyian Hati” karena terdapat beberapa bait dari pengarang yang menggambarkan kesedihan. Terdapat nilai kesatuan dengan penerapan unsur-unsur dan penyatuan antara satu unsur dengan unsur yang lain dapat dilihat dari tema dalam puisi ini yang selaras dengan pilihan kata atau diksi yang digunakan oleh penyair dalam menuliskan puisi ini.
Pada puisi yang berjudul “Di Beranda Ini Angin Tak Kedengaran Lagi” karya Goenawan Mohamad, menggunakan diksi yang cukup mudah dipahami dan dimengerti. Seperti yang tampak pada bait-bait didalam puisi tersebut. Pengarang menggunakan istilah-istilah yang dapat ditemui dalam penggunaan bahasa sehari-hari.
Pada bait pertama sampai terakhir pengarang menggunakan kata-kata yang tidak asing atau sering kita dengar. Penggunaan diksi pada bait pertama yaitu beranda yang bermakna teras dan mendesak yang bermakna memaksa untuk segera dilakukann. Pada bait kedua terdapat penggunaan diksi, seperti bernyanyi yang bermakna mengeluarkan suara bernada. Pada bait ketiga terdapat diksi yaitu mengekalkan yang bermakna memelihara. Pengarang menggunakan kata-kata tersebut karena memiliki maksud tersendiri, untuk mempermudah pemahaman para pembaca mengenai apa yang dimaksudkan dalam isi puisi tersebut.
Pada bait pertama pada larik pertama dan kedua yang berbunyi:
Di beranda ini angin tak kedengaran lagi
Langit terlepas. Ruang menunggu malam hari
Pada larik pertama dan kedua ini terdapat makna yang seolah memberikan kesan muram dan mencekam. Dalam larik pertama dapat dibayangkan jika angin sampai tidak bisa dirasakan lagi di beranda, padahal sebuah beranda seharusnya menjadi tempat untuk duduk santai dan menikmati sepoi angin. Permasalahan yang dialami mungkin begitu berat hingga tokoh dalam puisi ini tidak dapat menikmati embusan angin. Bahkan langit yang menjadi atap seperti terlepas, tidak dapat melindunginnya lagi. Alam semesta seperti tidak berpihak kepadanya. Seperti inilah orang yang sedang dalam masalah, terkadang merasakan kesepian dan ketidakaadilan. Padahal bisa jadi semua itu diakibatkan oleh kesedihannya sendiri, bukan orang lain. Memang benar, jika tengah dihadapkan oleh masalah kadang kala kita suka menyalahkan keadaan tanpa mencoba mengintrospeksi diri.
Pada bait pertama pada larik ketiga dan keempat yang berbunyi:
Kau berkata: pergilah sebelum malam tiba
Kudengar angin mendesak ke arah kita
Pada larik ketiga dan keempat menggambarkan tokoh yang tiba-tiba mendengar suara dari dalam batinnya yang menyuruhnya lari sebelum malam tiba. Boleh jadi ia tidak lagi percaya pada kelembutan malam. Barangkali ia mengira malam akan berkhianat seperti halnya angin dan langit. Bahkan kini ia bisa merasakan kehadiran sang angin, tetapi angin pun menyuruhnya pergi.
Pada bait kedua yang berbunyi:
Di piano beryanyi baris dari Rubayat
Di luar detik dan kereta telah berangkat
Sebelum bait pertama. Sebelum selesai kata
Sebelum hari tau ke mana lagi akan tiba
Bait ini menggambarkan ketergesaan. Tokoh yang terdapat dalam puisi ini seperti sedang berlomba dengan waktu. Ia berlari tanpa tujuan, meninggalkan permasalahannya dan tidak mau peduli pada dunianya yang lama. Yang ia inginkan hanya kehidupan yang baru di mana ia akan lupa pada semua beban dan masalahnya.
Pada bait ketiga yang berbunyi:
Aku pun tahu: sepi kita semula
bersiap kecewa, bersedih tanpa kata-kata
Pohon-pohon pun berbagi dingin di luar jendela
mengekalkan yang esok mungkin tak ada
Akan tetapi, lari bukanlah jawaban yang tepat. Lari tidak pernah menyelesaikan masalah, bahkan justru menambah masalah. Di tempat baru, tokoh justru kembali dihadapkan pada permasalahan baru seperti sepi dan kekecewaan. Kekecewaan yang mendalam pada ketidakmampuan diri sendiri dalam menghadapi masalah. Hingga kekecewaan itu melahirkan kesedihan panjang. Namun, semua telah terjadi, menyisakan penyesalan yang harus ditanggung. Kini ia terombang-ambing di antara ketidakpastian.
2. Keharmonisan
Dalan puisi ini terkandung keharmonisan yang merupakan penikmatan keindahan berdasarkan panca indera. Terdapat imageri atau susunan kata yang dapat mengungkapkan pengalaman sensoris. Pada puisi ini pengimajian yang digunakan oleh pengarang terdapat pada:
• Citraan gerak: ... angin mendesak
Pohon-pohon pun berbagi...
Penyair membuat pembaca memiliki gambaran tentang angin dan pohon yang seolah-olah dapat bergerak.
• Citraan penglihatan: ... kereta telah berangkat
Aku pun tahu: ...
Pengarang membuat pembaca seolah-olah dapat melihat kereta yang telah pergi berangkat menuju tujuannya.
• Citraan pendengaran: ... angin tak kedengaran lagi
Kau berkata: pergilah sebelum malam tiba
Kudengar angin...
Penyair membuat pembaca memiliki gambaran tentang angin dan kata yang dapat di dengar.
3. Kesimetrisan
Kesimetrisan yang terdapat dalam puisi ini dapat memperkuat rasa keutuhan. Hal ini dapat dilihat pada puisi “Di Beranda Ini Angin Tak Kedengaran Lagi” yang memiliki tampilan larik rata tengah seluruhnya. Tampilan wajah puisi yang dibuat oleh pengarang ini, memberikan keutuhan dalam puisi. Puisi karya Goenawan Mohamad terdiri dari tiga bait. Masing-masing bait terdiri dari empat baris. Dari sini dapat diketahui kesimetrisan dalam bentuk puisi “Di Beranda Ini Angin Tak Kedengaran Lagi”.
4. Keseimbangan
Dalam puisi ini terdapat keseimbangan yang terdapat pada rima akhir katanya. Terdapat rima akhir pada setiap bait 1 dan 2: i-i-a-a (aa bb) dan at-at-a-a (aa bb). Terdapat pula rima akhir pada bait 3: a-a-a-a (aa aa). Puisi ini juga mengandung rima aliterasi yang merupakan bentuk perulangan konsonan.
Perulangan bunyi /n/ terdapat pada larik:
Di beranda ini angin tak kedengaran lagi
Perulangan bunyi /r/ terdapat pada larik
Di piano beryanyi baris dari Rubayat
Perulangan bunyi /p/ terdapat pada larik
Pohon-pohon pun berbagi dingin di luar jendela
Perulangan bunyi konsonan dalam beberapa larik diatas dapat memberikan keseimbangan dan efek keindahan pada puisi ini.
5. Pertentangan
Puisi ini mengandung pertentangan, dapat dilihat jika realita kehidupan sehari-hari benda mati tidak mungkin dapat melakuakan sesuatu layaknya manusia. Pertentangan yang ada dalam puisi ini dapat disebut sebagai personifikasi yang merupakan perumpamaan benda mati seolah-olah hidup. Hal ini terdapat pada:
• “... Ruang menunggu...”: Dalam kalimat ini terdapat maksud mengenai ruang untuk tempat menenangkan diri dan bersantai yang selalu menunggu kita setiap saat, diibaratkan seperti manusia yang dapat menunggu seperti manusia.
• “... angin mendesak ...”: Dalam kalimat ini terdapat maksud angin yang memaksa untuk pergi, seperti halnya manusia juga dapat memaksa.
• “... piano bernyanyi...”: Dalam kalimat ini terdapat maksud piano yang memiliki bunyi indah dan dapat bernyanyi seperti manusia.
• “Pohon-pohon pun berbagi”: Dalam kalimat ini terdapat maksud dari penyair menghiaskan rasa dingin yang menyelimuti di luar ruangan dengan pohon-pohon yang terhembus angin yang saling berbagi dingin dengan daun-daun yang saling menyapa satu sama lain selayaknya manusia yang dapat berbagi dan menyapa.
Komentar
Posting Komentar