Unsur Estetika The Liang Gie Dalam Novel Bekisar Merah Karya Ahmad Tohari

 

 

Bekisar Merah merupakan judul sebuah novel karya Ahmad Tohari yang pertama kali terbit sebagai cerita bersambung dalam surat kabar Kompas pada bulan Februari sampai dengan Mei 1993. Cerita bersambung itu kemudian diterbitkan Gramedia Pustaka Utama dalam bentuk buku pada tahun yang sama, yaitu tahun 1993. 

Novel Bekisar Merah menceritakan kehidupan masyarakat Karangsoga. Kesehariannya, mereka sebagian besar bekerja sebagai penderas Nira kelapa untuk dibuat gula merah. Di dalamnya menceritakan pasangan suami istri bernama Darsa dan Lasiah yang harus menanggung kehidupan yang berat. Disamping itu, Ahmad Tohari membubuhkan unsur estetika dalam novel Bekisar Merah. 

Terdapat unsur kesatuan dalam novel Bekisar Merah yang dapat menimbulkan kesan tanggapan secara utuh dan membentuk keindahan dalam novel ini. Judul pada novel Bekisar Merah membentuk suatu kesatuan yang memiliki keterkaitan isi yang terdapat dalam novel ini. “Bekisar” adalah jenis ayam hasil kawin silang antara ayam hutan dan ayam biasa. “Merah” merupakan jenis warna yang menarik dan indah. “Merah” juga menggambarkan konflik dalam diri tokoh utama yang mulai muncul. Ketika ia diminta mengenakan kimono merah, awal perkenalan dirinya dengan Pak Han yang mengubah dirinya setelah itu. 

Bekisar Merah dipakai sebagai nama simbol untuk tokoh utama dalam novel tersebut, yaitu Lasiyah yang disapa Lasi, seorang wanita yang berayah Jepang dan beribu Jawa. Lasi sebagai blasteran Jawa-Jepang dianggap memiliki kecantikan yang sangat memikat. Pemilihan judul Bekisar Merah ini mampu menggambarkan tokoh utama dalam cerita. Bekisar dianggap sebagai simbolisme keindahan karena ayam bekisar ini memiliki tubuh yang gagah, tegap, besar, dan rapi dibandingkan dengan spesies sejenisnya.  

Dengan bulunya yang begitu rapi dan memiliki perpaduan warna yang unik dibandingkan dengan ayam-ayam jenis lain membuat penulis cerita merasa bahwa keindahan dari bekisar mampu menginterpretasikan seorang Lasiah. Apalagi ditambah dengan bekisar yang merupakan spesies jenis ayam persilangan antara ayam hutan dan ayam peliharaan biasa mampu menggambarkan bahwa kecantikan Lasiah yang berbeda dibandingkan dengan wanita-wanita lainnya. Kecantikan Lasiah digambarkan begitu mendetail di dalam cerita ini. Bekisar biasanya dipelihara oleh orang-orang kaya yang juga menggambarkan bahwa Lasiah yang menjadi istri seorang konglomerat kaya raya bernama Pak Handarbeni. 

Selain itu, dalam novel Bekisar Merah juga terdapat unsur estetika berupa pertentangan yang merupakan terjadinya ketidakselarasan antara unsur dan bagian dalam karya sastra dengan makna yang ingin disampaikan. Bekisar Merah mengambil latar belakang kehidupan perkampungan jelas memengaruhi pilihan kata atau diksi yang digunakan Ahmad Tohari. Diksi yang terdapat dalam novel ini cenderung sederhana, lembut, indah, gamblang dan tetap terdapat kesantunan pada banyak tuturan pelakunya.  Hal ini dapat dilihat pada kutipan di bawah ini. 

Dalam sapuan hujan panorama di seberang lembah itu terlihat agak samar. Namun cuaca pada musim pancaroba sering kali mendadak berubah. Lihatlah, sementara hujan tetap turun dan angin makin kencang bertiup tiba-tiba awan tersibak dan sinar matahari langsung menerpa dari barat. Lukisan besar di seberang lembah mendadak mendapat pencahayaan yang kuat dan menjadikannya lebih hidup. Warna- warninya muncul lebih terang, matra ketiganya makin jelas. Muncul pernik-pernik mutiara yang berasal dari pantulan sempurna cahaya matahari oleh dedaunan yang kuyup dan bergoyang. Dari balik bukit, di langit timur yang biru-kelabu, muncul lengkung pelangi. Alam menyelendangi anak-anak perawannya yang selesai mandi besar dengan kabut cahaya warna-warni. (Tohari, 2011:8)  

"Bekisar kan hasil kawin campur antara ayam hutan dan ayam kota. Yang kini banyak dicari adalah anak blasteran macam itu, bukan? Blasteran Jepang-Melayu. Memang, Pak Han, hasil kawin campur sering menarik. Entahlah, barangkali bisa menghadirkan ilusi romantis, atau bahkan ilusi berahi. Khayalan-khayalan kenikmatan berahi. Eh, saya kok jadi saru." (Tohari, 2011:117)  

Diksi yang sederhana, lembut, indah, gamblang dan tetap terdapat kesantunan dalam novel ini bertentangan dengan pesan yang disampaikan oleh diksi itu sendiri. Terdapat pesan yang cukup tajam dalam novel ini untuk percaya kepada takdir yang telah Tuhan berikan, ketika hidup miskin jadikanlah itu sebuah ujian yang diberikan-Nya dan jangan menyalahkan takdir Tuhan, ketika manusia diberi ujian sesungguhnya Tuhan memberikan hambanya ujian agar senantiasa ingat kepada-Nya. Hal ini dapat dilihat pada kutipan di bawah ini.  

“…Sudahlah, Las biarkan mereka. Kita sebaiknya nerima saja. Kata orang nerima ngalah luhur wekasane, orang yang mengalah akan dihormati pada akhirnya.” (Tohari, 2011:31)  

Dengan demikian, pertentangan dalam novel ini terdapat dalam diksi yang lembut, sederhana, indah, gamblang dan santun bertentangan dengan pesan yang disampaikan oleh diksi itu sendiri yang begitu tajam.   

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Membangun Ketegangan dalam Novel Anda: Tip dan Trik Agar Pembaca Tetap Terpikat

Suntikan Nasionalisme Dalam Novel Laut Bercerita Karya Leila S. Chudori

Pengaruh Budaya dan Latar Belakang pada Karya Sastrawan